Dari Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap amal dinilai dengan niat. Dan setiap orang akan mendapat balasan sesuai dengan niatnya. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia yang ingin dia dapatkan atau karena wanita yang ingin dia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Ini adalah hadits sahih yang disepakati kesahihannya. Disepakati tentang keagungan dan kemuliaan kedudukannya. Ia merupakan salah satu hadits yang menjadi poros ajaran Islam. Adalah para ulama terdahulu serta para ulama belakangan yang mengikuti mereka rahimahumullahu ta’ala menganjurkan untuk mengawali karya-karya tulis dengan hadits ini, sebagai pengingat bagi pembaca agar menjaga kelurusan niat, memberikan perhatian besar atasnya dan terus-menerus memeriksa niatnya.” (lihat al-Adzkar, hal. 24)
Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang hendak menulis suatu buku maka mulailah dengan hadits ini.” (lihat al-Adzkar, hal. 24)
Imam Ibnu Daqiq al-‘Ied rahimahullah menjelaskan, “Menurut Imam Ahmad dan Syafi’i rahimahumallahu, di dalam hadits al-A’maal bin niyaat ini tercakup sepertiga ilmu. Demikian pula dikatakan oleh al-Baihaqi dan ulama lain. Alasannya, karena perbuatan hamba terdiri dari perbuatan hati, lisan, dan anggota badan, sedangkan niat menempati salah satu diantara ketiga macam perbuatan tersebut.” (lihat Syarh al-Arba’in, hal. 10)
Imam Bukhari rahimahullah berkata, “Tidak ada diantara hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hadits yang lebih lengkap, padat, dan paling banyak faidahnya daripada hadits ini.” (lihat Fath al-Bari [1/17] tahqiq Syaibatul Hamdi)
Faidah Hadits Secara Umum
Hadits ini menunjukkan betapa pentingnya niat dalam kehidupan seorang muslim. Ia laksana ruh bagi tubuhnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Innamal a’maalu bin niyaat adalah kalimat yang komprehensif dan sempurna, sebab niat bagi amalan laksana ruh bagi jasad.” (lihat Dhawabith wa Fiqh Da’wah ‘inda Syaikhil Islam, hal. 106)
Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu’anhu, beliau menceritakan bahwa dahulu ada seorang lelaki yang datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu dia bertanya, “Ada orang yang berperang untuk fanatisme kelompok, berperang untuk menunjukkan keberanian, dan berperang untuk mendapat pujian. Manakah diantara itu semua yang berada di jalan Allah?”. Maka beliau menjawab, “Barangsiapa yang berperang demi meninggikan kalimat Allah, maka itulah yang berjihad di jalan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seorang hamba sakit atau sedang bersafar maka akan dicatat baginya seperti amal yang biasa dilakukannya tatkala sehat dan mukim/tidak safar.” (HR. Bukhari)
Faidah Hadits Bagi Para Pendakwah
Hadits di atas memberikan pelajaran berharga, bahwa tidak semestinya seorang pendakwah beramar ma’ruf dan nahi mungkar dalam rangka sum’ah (ingin didengar) atau riya’ (ingin dilihat orang). Demikian pula tidak boleh berdakwah demi membela kepentingan diri sendiri, memburu jabatan atau kepemimpinan, atau demi membela kelompoknya sendiri serta untuk merendahkan kelompok yang lain. Karena itu semuanya termasuk fanatisme yang tidak diterima oleh Allah. Hal itu pula yang telah diperingatkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, “Banyak orang, apabila dia mengajak kepada kebenaran, maka yang terjadi justru dia [lebih] mengajak kepada dirinya sendiri.” (lihat Dhawabith wa Fiqh Da’wah ‘inda Syaikhil Islam, hal. 108)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Seandainya seorang yang menyampaikan kebenaran memiliki niat untuk mendapatkan ketinggian di muka bumi (kedudukan) atau untuk menimbulkan kerusakan, maka kedudukan orang itu seperti halnya orang yang berperang karena fanatisme dan riya’. Namun, apabila dia berbicara karena Allah; ikhlas demi menjalankan [ajaran] agama untuk-Nya semata, maka dia termasuk golongan orang yang berjihad di jalan Allah, termasuk jajaran pewaris para nabi dan khalifah para rasul.” (lihat Dhawabith wa Fiqh Da’wah ‘inda Syaikhil Islam, hal. 109)
Ucapan Para Ulama Tentang Hal Ini
Oleh sebab itulah kita dapati para ulama salaf adalah orang-orang yang sangat khawatir dirinya terjangkiti niat-niat yang tidak benar dalam berdakwah kepada al-Haq dan mengajarkan ilmu kepada manusia. Inilah sebagian contohnya…
Sebutlah seorang ulama salaf bernama Hisyam ad-Dastuwa’i(wafat 153 H) rahimahullah. Syu’bah berkata tentangnya, “Tidaklah ada seorang diantara manusia -yang ada saat itu, pent- yang menimba ilmu hadits yang lebih ikhlas karena Allah daripada Hisyam ad-Dastuwa’i…” Abu Dawud ath-Thayalisi berkata, “Hisyam ad-Dastuwa’i adalah Amirul Mukminin fil Hadits.” Meskipun demikian, lihatlah ucapan Hisyam ad-Dastuwa’i tentang dirinya sendiri, “Aduhai, andaikata kami selamat dari akibat [menuturkan] hadits?” (lihat Thabaqat ‘Ulama al-Hadits [1/255-256] oleh Imam Ibnu Abdil Hadi rahimahullah)
Contoh yang lain adalah Syu’bah bin al-Hajjaj (wafat 160 H) rahimahullah. Sufyan ats-Tsauri berkata, “Syu’bah adalah Amirul Mukminin fil Hadits.” Imam Syafi’i berkata, “Kalau tidak ada Syu’bah niscaya hadits tidak akan dikenal di ‘Iraq.” Meskipun demikian, perhatikanlah ucapan Syu’bah tentang dirinya sendiri, “Tidaklah ada suatu perkara yang lebih aku takutkan menjerumuskan diriku ke dalam neraka daripada [akibat tidak ikhlas dalam mengajarkan] hadits.” (lihat Thabaqat ‘Ulama al-Hadits [1/293-296])
Contoh lainnya, Sufyan ats-Tsauri (wafat 161 H) rahimahullah. Beliau berkata, “Tidak ada suatu amalan yang lebih utama daripada menimba [ilmu] hadits, yaitu apabila niatnya lurus.” Ibnul Mubarak berkata, “Aku tidak tahu di atas permukaan bumi ini seseorang yang lebih berilmu daripada Sufyan.” Waki’ berkata, “Sufyan laksana samudera.” Meskipun demikian, simaklah ucapan Sufyan tentang dirinya, “Aku berangan-angan bisa selamat dari ilmu ini; sehingga ia tidak mencelakakanku, meski tidak menguntungkanku. Tidak ada amalan yang paling aku khawatirkan mencelakakan diriku daripada hal itu -yaitu belajar dan mengajarkan hadits-.” (lihat Thabaqat ‘Ulama al-Hadits [1/309-312])